Awal tahun 2023 menjadi ajang drama yang lebih seru dari pada film korea bagi para elite yang haus akan kekuasaan dan pujian, bagaimana tidak seperti yang telah kita ketahui bersama tepat di pertengahan bulan ini ribuan kepala desa (Kades) dari berbagai daerah di Indonesia berbondong-bondong datang ke Ibu Kota mengepung kantor MPR lengkap dengan aneka bendera bak Mahasiswa baru waktu pertama kali diajak aksi oleh seniornya. Mereka berorasi dengan lantang suaranya menggema dari setiap toa, teriakan "Hidup Rakyat" keluar dari mulut sekawannya, seakan benar-benar mewakili suara rakyat yang menginginkan semuanya. Padahal rakyat tak tahu apa, mereka pun berangkat ke Jakarta bukan atas nama restu rakyat melainkan hanya restu dari para elite mereka yang selama ini mempermudah jalannya mencapai titik klimaks kekuasaan.
Dari toa-toa mereka terdengar teriakan "Masa Jabatan 9 Tahun adalah Harga Mati" yang artinya sampai kapanpun akan tetap diperjuangkan meski mati-matian, tuntutan atas revisi UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa menjadi misi utama yang diperjuangkan, dengan harapan di tahun 2023 ini hal tersebut sudah bisa masuk di Balegnas, Prolegnas dan menjadi prioritas Dewan. Jabatan 6 Tahun yang diatur dalam UU sebelumnya seakan masih kurang dalam memperbaiki desanya, dalih waktu singkat tidak efisien mengawal kepentingan rakyat menjadi alasan utama yang dibawa dalam tuntutan mereka. Padahal jika kita mau berpikir progres jangka panjang waktu selama 6 tahun sudah cukup untuk membangun desa jika memang betul-betul para kades bekerja secara profesional, satu tahun pertama adalah masa transisi untuk lebih adaptif dengan polarisasi yang ada karena mengingat suhu politik lokal setingkat desa lebih panas, tahun kedua penataan di lingkungan internal pemerintahan, tahun ketiga sampai tahun ke lima mengabdi untuk rakyat sesuai visi-misi yang diusung waktu di pencalonan dan tahun keenam atau tahun terakhir fokus beregenerasi jika tidak mau nyalon lagi, hal demikian saya kira sangat proporsional sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 tahun 2014 UU desa tentang Tugas dan Wewenang Kepala desa.
Beberapa anggota dewan dari beberapa fraksi telah menyepakati tuntutan tersebut, apalah daya rakyat kecil jika nanti sudah ketok palu. 9 tahun bukan waktu yang singkat, jika keberadaan kepala desa sebagai elite di kelas bawah sudah lepas kendali dari rakyat maka akan mudah hal tersebut disalah gunakan mulai dari penyelewengan kekuasaan, membangun benteng-benteng pertahanan, hingga bermuara pada puncaknya yakni kedinastian. Miris sekali jika hal ini benar-benar terjadi, selain membunuh hak rakyat juga mencederai tubuh mulus demokrasi kita. Lantas kenapa mereka masih ngotot minta perpanjangan masa jabatan? Untuk siapa waktu panjang itu? Apa yang akan mereka kerjakan? Dan anehnya lagi dukungan atas ambisi tersebut terus mengalir dari gerbong-gerbong parlemen. Pemerintah desa secara struktur merupakan elite birokrasi tingkat bawah dengan anggaran yang super besar dari APBN kita yang mencapai Rp. 1 miliar setiap tahunnya, anggaran tersebut digelontorkan bukan tanpa alasan, karena mengingat secara letak geografis pemerintah desa berhadapan dengan problematika masyarakat secara langsung. Namun, apakah anggaran yang signifikan itu mampu dikelola oleh pemerintah desa dalam rangka membangun desanya? Atau hanya masuk dalam buku laporan pengeluaran dana desa (DD) tapi entah hasilnya apa? Pertanyaan yang sampai hari ini belum menemukan jawaban yang memuaskan.
Tata kelola yang tidak efektif dengan anggaran yang sangat besar cenderung akan membuat pemangku kebijakan di wilayah tersebut sering oleng, tak jarang kita temui infrastruktur perdesaan yang masih amburadul, padahal di laporan penggunaan dana desa sudah jelas ada pengeluaran bahkan laporannya dipampang pakai baleho di setiap perempatan jalan. Maka dalam menyikapi hal demikian masyarakat harus kritis mengontrol kinerja aparat desanya selama ini, jabatan priodesasi kepala desa sesuai dengan pasal 39 UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa bahwa kepala desa hanya boleh menjabat selama tiga kali masa jabatan atau tiga priode, jika nanti tuntutan 9 tahun di setiap priodenya sudah ketuk palu hal ini akan semakin melanggengkan singgasananya.
Kesempatan untuk melakukan berbagai praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) akan semakin terbuka lebar untuk para kepala desa, serta menghalalkan berbagai cara untuk tetap mempertahankan mahkotanya sebagai orang nomor satu di desa. Entah di balik ini semua ada elite partai politik yang menjadi sutrada atau tidak tapi aksi demonstrasi yang dilakukan kepala desa kemarin jelas seakan pada haus jabatan semua, dengan alibi mereka waktu 6 tahun tidaklah cukup untuk menata desa. Mereka seakan sudah membuat jalan tikus untuk mencapai sistem dinasti atau monarki absolute yang suatu saat akan diwariskan pada anak cucunya secara turun temurun, yang membuat rakyat pada umumnya susah untuk mencapai kedudukan sosial itu dan yang muda berpotensi hanyalah jadi penonton bahkan kuli dari sistem pemerintahan yang dibangun olehnya selama ini.
Biodata singkat penulis;
Nama: Fathor Rosy
Tetala: Sumenep, 07 November 2002
Alamat: Gapura Timur, Gapura, Sumenep
Pendidikan saat ini: Proses Strata S1 di STKIP PGRI Sumenep Prodi PPKn
Organisasi: IPNU
Prestasi literasi:
-20 Besar Cipta Puisi Nasioanl, FAM 2017
-Puisi Bahasa Madura, dimuat di Radar Madura 2017
-15 Besar, Cipta Puisi FAM Nasional, 2018
-Juara 2 lomba cipta Puisi Se-Jawa Timur, 2019
Artikel Terkait
Stigma Bulshit Masyarakat Terhadap Pendidikan Perempuan
Balada Penyair Tua Kumpulan Puisi Muhammad Lutfi
Preferensi Siswa SMA Negeri 1 Ambunten Dalam Mengunjungi Perpustakaan
Guna Mengetahui Tupoksi, PK IPNU IPPNU SMA Nurul Jadid dan SMPN 1 Batang-Batang Laksanakan Upgrading
Malaysia Berhasil Kalahkan Gajah Perang di Stadion Bukit Jalil
Langkah Mahasiswa Posko IV STAIM Lestarikan Seni di Sumenep
Kejuaraan Karate Bimawa Cup 2023, Wakil Rektor UAD: Efektivitas Latihan Diukur Lewat Kompetisi dan Prestasi
Perkuat Internal Organisasi, PAC IPNU - IPPNU Bluto Gelar Ngaji PDPRT
Lama Redup, Majelis Pelajar PAC IPNU - IPPNU Bluto Kembali Hidup
PPK Dungkek Gelar Tes Wawancara PPS